Sebuah sistem terdiri dari bagian yang saling berhubungan dan oleh karena itu, secara krusial, setiap perubahan yang terjadi pada salah satu bagian akan mempengaruhi seluruh system yang ada. Setiap individu memainkan peran tertentu baik dalam keluarga maupun masyarakat, dan menyelesaikan tugas tertentu dalam system tersebut, misalnya ibu menderita sakit yang parah dan tidak mampu melanjutkan peran dan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, maka fungsi ini akan diretribusikan kembali kepada anggota keluarga yang lainnya, dan hal tersebut akan mengubah keseimbangan dalam hubungan. Salah satu kunci karakter dalam keluarga dan sistem sosial lain adalah penggunaan ritual untuk menandai transisi dari satu peran atau status sosial kepada yang lain, menyimbolisasikan keterikatan anatara anggota kelompok dan mengekspresikan hubungan antar-individu dan kekuatan yang lebih tinggi.
Pada umumnya, terdapat tiga aliran klasik dalam terapi keluarga, yaitu sebagai berikut :
1. Terapi structural ( salvandor & Minuchin, 1974 ), memahami struktur dan mempolakan interaksi dalam keluarga ke dalam sub-sistem, batasan, hierarki, dan aliansi.
2. Terapi pendekatan keluarga dengan paradoxical injunction, reframing, dan formula tugas (prescription of the task), untuk membuat perubahan pada sysptom.
3. Terapi pendekatan pada penekanan terhadap aspek filosofis kehidupan keluarga (palazzoli,et al, 1978)
Titik temu antar terapi keluarga kontemporer yaitu sebagai berikut :
1. Partisipasi aktif dari seluruh anggota keluarga, untuk memungkinkan diobservasinya pola interaksi dan perubahan yang akan dibagi.
2. Intervensi lebih ditujukan kepada apa yang dimiliki oleh system ketimbang aspek pengalaman individu.
3. Konselor atau Terapis mengadopsi sikap detached atau pelepasan, posisi netral, untuk menghindari keterlibatannya ke dalam system atau tergoda membentuk aliansi dengan anggota keluarga atau subkelompok tertentu.
4. Konselor atau terapis bekerja sebagai sebuat tim, dengan beberapa orang bekerja dlam ruangan bersama keluarga yang lain bertindak sebagai pengamat, untuk menguatkan kenetralan dan orientasi “ system”, dan untuk mengaktifkan deteksi pola interaksi subtil yang terjadi dalam dinamika kompleks cara keluarga untuk tetap bersama.
5. Penggunaan sesi berdampak tinggi dalam jumlah berbatas, bukan sesi lebih “lembut” atau suporif dalam jumlah yang besar.
Konseling semakin kokoh menjadi sebuah profesi, dan para konselor juga telah memainkan bagian yang lebih aktif dalam memfasilitasi perubahan organisasional. Konselor dan klien selalu bertindak dalam sebuah system baik system social maupun system dalam keluarga. Oleh karena itu, nilai penting kompetensi yang dimiliki oleh konselor adalah kemampuan untuk menyadari operasi dalam system keluarga maupun social. Konselor yang bekerja dalam agensi akan menyadari tuntutan dan tekanan yang dibuat organisasi. Terdapat tujuh model kompetensi area yang dimiliki oleh konselor, yaitu sebagai berikut :
1. Ketrampilan intrapersonal, konselor yang efektif mampu mendemonstrasikan perilaku mendengar, berkomunikasi, empati, kehadiran, kesadaran komunikasi non-verbal, sensitivitas terhadap kualitas suara, responsivitas terhadap ekspresi emosi, pengambilalihan, menstruktur waktu, dan menggunakan bahsa dalam sebuah sistem.
2. Keyakinan dan sikap personal, kapasitas untuk menereima yang lain dalam sebuah sistem, yakin adanya potensi untuk berubah, kesadaran terhadap pilihan etika dan moral. Sensitivitas terhadap nilai yang dipegang oleh konseli dalam sistem tersebut dan dirinya sendiri.
3. Kemampuan konseptual, kemampuan untuk memahami dan menilai masalah dalam sistem, mengantisipasi konsekuensi tindakan di masa depan, memahami proses kilat dalam kerangka skema konseptual yang lebih luas, mengingat informasi yang berkenaan dalam sistem. Fleksibilitas kognitif dan keterampilan dalam memecahkan masalah.
4. Ketegaran personal, tidak adanya kebutuhan pribadi atau keyakinan irasional yang sangan merusak hubungan konseling, percaya diri, kemampuan untuk menolerasi perasaan yang kuat atau tidak nyaman dalam hubungan dalam sistem, batasan pribadi yang aman, mampu untuk menjadi konseli dalam suatu sistem. Tidak mempunyai prasangka sosial, etnosentrisme, dan autorianisme.
5. Menguasai teknik, pengetahuan tentang kapan dan bagaimana melaksanakan intervensi tertentu, kemampuan untuk menilai efektivitas intervensi, memahami dasar permikiran di belakang teknik, memiliki simpanan intervensi yang cukup.
6. Kemampuan untuk paham dan bekerja dalam sistem, termasuk kesadaran akan keluarga dan hubungan kerja dengan konseli, pengaruh agensi terhadap konseli, kapasitas untuk mendukung jaringan dan supervisi. Sensitivitas terhadap dunia sosial konseli yang mungkin bersumber dari perbedaan gender, etnis, orientasi sek, atau kelompok umumr.
7. Terbuka untuk belajar dan bertanya, kemampuan untuk waspada terhadap latar belakang dan masalah konseli, terbuka terhadap pengetahuan baru. Menggunakan riset untuk menginformasikannya.
Referensi :
McLoed, John. 2006. Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Alih bahasa oleh A. K. Anwar. Jakarta : Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar