Stereotip Peran Gender
Streotip peran gender (gender rote stereotypes) adalah kategori-kategori luas yang mencerminkan kesan-kesan dan kepercayaan kita tentang perempuan dan laki-laki.
· Streotip dapat dimodifikasi sesuai dengan perubahan suatu kebudayaan. Misal; pada suatu saat yang disebut maskulin adalah laki-laki yang memiliki otot besar dan berbadan bidang, serta tidak tidak terlalu ramping, namun pada periode lainnya yang dikatakan maskulin adalah laki-laki yang tubuhnya kuat dan langsing serta sangat Heroseksual.
· Perilaku-perilaku yang secara popular disepakati sebagai pencerminan suatu stereotip, dapat juga berfluktuasi sesuai dengan keadaan-keadaan sosial ekonomi. Misalnya kelompok sosial ekonomi kelas bawah mungkin lebih cendrung kasar dan tangguh (rough and tough).
· Menurut Imisichel (1970), suatu yang dikatakan sesuai dengan streotip terkadang tidak sesuai, maka label-label itu sendiri dapat memberi akibat-akibat yang signifikan bagi individu memberikan label-label yang tidak sesuai dengan jenis kelamin akan menimbulkan reaksi-reaksi sosial yang signifikan bagi individu dalam status dan penerimaannya dalam kelompok.
· Pada dasarnya streotip feminisme dan maskulin telah mengakar pada pengakuan sosial masyarakat, laki-laki diyakini secara luas sebagai dominan, mandiri, agresif, berorientasi erostasi dan tegar. Semantara itu perempuan diyakini secar luas memiliki sifat mengasuh, senang berkumpul, kurang memiliki harga diri, dan lebih memberi pertolongan saat-saat mengalami tekanan.
Namun, suatu streotip peran gender berbanding terbalik dengan kesetaraan jenis kelamin, ketika kesetaraan kelamin masyarakat, yang biasanya banyak terjadi di negara-negara maju karena perilaku anatara kaum laki-laki dan perempuan memiliki taraf kesamaan, maka streotip laki-laki dan perempuan bersamaan perbedaan-perbedaan perilaku aktual dapat berkurang.
· Perkembangan streotip peran gender berlangsung sesuai dengan perkembangan kognitif menurut Liben dan Yekel (1992), keyakinan akan streotip gender mengikat selama tahun-tahun pra-sekolah, memuncak pada tahun-tahun awal sekolah dasar. Kemudian menurun pada masa pertengahan dan akhir anak-anak, karena semakin tinggi perolehan kognitif individu semakin maju pola pikirannya, maka streotip peran gender bukanlah suatu hal yang tetlalu dipentingan.
Persamaan dan Perbedaan Peran Gender
Sebelumnya dapat diperhatikan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah:
1. Perbedaan adalah rata-rata.
2. Terdapat tumpang tindih jenis kalamin.
3. Perbedaan disebabkan oleh factor biologis, social cultural atau bahkan kedua-keduanya.
· Perbedaan dan Persamaan Kognitif baru-baru ini Maccoby (1987) merevisi kesimpulannya tentang beberapa dimensi gender, yang sebelumnya dalam tujuan klasika ia menyimpulkan bahwa laki-laki memiliki keterampilan-keterampialn matematik yang lebih baik atau dapat dikatakan kemampuan numeric yang lebih baik disbanding perempuan dan juga kemampuan visual spasial, dan kini ia berasumsi bahwa perbedaan kemampuan dan visual spasial masih ada. Namun pada dasarnya perbedaan tersebut merupakan pengukuran dari hasil rata-rata.
· Kebanyakan anak laki-laki lebih aktif dan lebih agresif dari pada kebanyakan perempuan. Perbedaan yang konsisten dalam agresif seringkali terlihat dalam perkembangan anak dalam usia 8 tahun. Berkenaan dengan perilaku menolong, pada perempuan sikap menolong lebih cenderung masuk ke perilaku mengasuh dan merawat, sedangkan pada laki-laki pertolongan lebih bersifat sangat sopan dan dilakukan dimana laki-laki tersebut berada dalam situasi dimana ia berkompeten untuk menolong melalui potensi seseorang laki-laki yang diimilikinya. Misalnya; menolong orang yang ban mobilnya kemps.
Menurut Zohn Wayler Iggo (), bahwa sejak usia dasar anak perempuan memperhatikan lebih banyak perilaku yang bersifat memberi asuhan, namun dalam kesempatan dimana anak laki-laki sama dengan anak perempuan dalam mengasuh saudara. Saudara yang masih kecil, mereka akan sama dalam perilaku pengasuhan tersebut.
A. Prestasi
Dalam hal prestasi dalam bidang psikomotorik, memang terdapat perbedaan yang terlihat jelas, contohnya tidak ada pemain liga utama sepak bola seorang wanita atau 96% dari perawat adalah perempuan. Namun dalam bidang prestasi dalam aspek akademis perbedaan gender tidak terlihat begitu besar. Bahkan dalam tugas persistenst anak perempuan sama besar dengan anak laki-laki, namun yang selalu menjadi pertanyaan berat bagi para ahli adalah apakan harapan-harapan mereka untuk berhasil dalam berbagai tugas prestasi juga sama besar?
Kebanyakan anak perempuan memiliki harapan-harapan yang lebih rendah disbanding dengan anak laki-laki dalam bidang keberhasilan kegiatan-kegiatan akdemis dan kejuruan yang sulit karena kurangnya rasa percaya diri karena perempuan sering kali didikaitkan sebagai kuarang kompeten di bidang laki-laki yang menyebabkan anak perempuan tidak percaya diri untuk mengembangkan kemampuan intelektual umum uang mereka miliki.
B. Emosi
Dalam hal emosi perempuan dan laki-laki sering kali tidak berbeda cara mereka dalam mengalami emosi. Perempuan dan laki-laki sering kali menggunakan ekspresi wajah yang sama, mengadopsi bahasa yang sama, dan melukiskan pengalaman-pengalaman yang sama.
Dan anggapan bahwa perempuan adalah emosinal dan laki-laki tidak adalah streotip, mengingat kompleksitas dan luasanya wilayah emosi, dan para peneliti tidak menemukan perbedaab-perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Kedua jenis kelamin tampaknya sama-sama merasakan kasih saying, iri hati, kecemasan ketika situasi-situasi social yang baru, kemarahan ketika disakiti, bersedih ketika persahabatanyang akrab berakhir, dan merasa malu ketika mereka melakukan kesalahan di depan umum.
Namun apabila kita bergerak keluar dari stereotip utama dan mempertimbangkan beberapa pengalaman dan konteks emosional yang spesifik dimana emosi diperlihatkan, gender banar-banar merupakan persoalan dalam memahami emosi. Perbedaan-perbedaan perempuan dan laki-laki dalam emosi lebih cenderung terjadi dalam konteks menyoroti peran dan relasi social, misalnya; perempuan cenderung mengeksperesiakan perilaku emosional yang melibatkan relasi-relasi interpersonal dan disbanding dengan laki-laki perempuan lebih cenderung mengeksperesiak ketakutan dan kesedihan khususnya ketikaberkomunikasi dengan teman dan keluarga mereka.
Klasifikasi Peran Gender
1. Masa Lalu
Sejak lama, setelah diterima bahwa anak laki-laki harus tumbuh maskulin dan anak perempuan harus bertubuh feminim. Dan di masa lalu pula, laki-laki yang dapat menyesuaikan diri dengan baik diharapkan menjadi mandiri, agresif, dan berorientasi kekuasaan. Perempuan yang dapat menyesuaikan diri dengan baik diharapkan menjadi mandiri, mengasuh dan tidak tertarik pada kekuasaan.
Suatu studi klasik pada awal tahun 1970-an meringkas sifat-sifat dan perilaku-perilaku yang diyakini oleh para mahasiswa sebagai karateristik. Sifat-sifat tersebut diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yang diberi label “Instrumental” sesuai dengan tanggung jawab laki-laki, yakni untuk pergi kedua luat guna mencari penghasilan bagi keluarganya. Dan label “Ekspresif” sesuai denga tanggung jawab perempuan, yakni untuk mengupayakan kehangatan dalam keluarga. Stereotip-streotip semacam ini lebih berbahaya bagi perempuan dari pada laki-laki karena karateristik yang diberikan kepada laki-laki lebih brharga dari pada yang diberikan kepada perempuan, dan stereotip telah menghasilkan perlakuan negative kepada perempuan karena jenis kelamin mereka atau yang disebut dengan Sexsisme.
2. Androgini
Konsep androgini yakni keberadaan karateristik maskulin dan feminin yang diinginkan pada individu yang sama (Ben, 1977; Spence & Helmreich, 1978) individu yang androgines dapat menjadi seorang laki-laki yang tegas (maskulin) dan bersifat mengasuh (feminim) atau seorang perempuan yang dominant (maskulin) dan sensitive kepada perasaan orang lain (feminim).
Berdasarkan daftar peran jenis kelamin karenanya Bem, individu-individu diklasifikasikan mempunyai satu dan dari empat orientasi peran gender:
1. Maskulin.
2. Feminin.
3. Androgines, adalah sungguh-sungguh seorang perempuan atau seorang laki-laki
yang memiliki suatu tingkat yang tinggi baik sipat feminine (Ispesif) dan sifat-
sifat maskulin (Instrumental).
4. Tidak terdiperensiasi (Undifferentiated, tidak memiliki perbedaan) seorang yang tidak terdeperensiasi tidak memiliki sifat-sifat feminim/ maskulin yang tinggi.
Etnisitas dan Gender
Apakah sikap dan perilaku yang berkaitan dengan gender sama pada semua kelompok etnis yang berbeda? Pengalaman-pengalaman etnis dan kebudayaan yang berbeda pada perempuan dan laki-laki perlu dipertimbangakan untuk memahami sikap dan perilaku merek ayang berkaitan dengan gender, karena dalam beberapa hal perbedaan kecil dapat menjadi penting.
1) Kaum Perempuan Minoritas Etnis
Kita meninjau perilaku dan orientasi psikologis perempuan dari kelompok minoritas etnis khusus, mulai dari kaum perempuan kulit hitam, dan kemudian dilanjutkan dengan kaum perempuan Asia Amerika, kaum perempuan Hispanik Amerika, dan kaum perempuan penduduk asli Amerika.
Para peneliti dalam psikologi semula hanya berfokus pada perilaku kaum perempuan kulit hitam yang dijadikan suatu kelompok pembanding bagi kaum perempuan kulit putih pada dimensi-dimensi psikologis terpilih, atau mereka berfungsi sebagai subyek dalam berbagai studi di mana minat utama penelitian berkaitan dengan kemiskinan, ibu-ibu rumah tangga yang tidak menikah, dan seterusnya (Hall, Evans, & Selice, 1989). Pendekatan penelitian yang sempit ini dapat di pandang sebagai tidak mengaitikan karakteristik pribadi dengan kaum perempuan kulit hitam selain label-label yang diberikan kepada mereka oleh masyarakat.
Hakikat dan fokus penelitian psikologis pada kaum perempuan kulit hitam sudah mulai berubah -sampai batas tertentu paralel dengan perubahan-perubahan masyarakat (Hall, Evans, & Selice, 1989). Pada tahun 1980-an, studi-studi pskologis tentang kaum perempuan kulit hitam mulai berubah dari studi yang berfokus hanya pada masalah-masalah kaum perempuan kulit hitam ke penelitian tentang aspek-aspek positif (seperti harga diri, prestasi, motivasi, dan kendali diri) kaum perempuan kulit hitam dalam suatu masyarakat yang majemuk.
Kaum perempuan kulit hitam, seperti juga kaum perempuan minoritas etnis lain, telah mengalami budaya ganda rasisme dan seksisme (sexism). Kelihaian dan ketekunan yang diperlihatkan oleh kaum perempuan minoritas etnis untuk bertahan hidup dan bertumbuh melawan rintangan sungguh luar biasa. Masyarakat kita perlu melakukan suatu komitmen yang kuat untuk memberi kaum perempuan kulit hitam dan kaum perempuan minoritas etnis lain peluang yang merupakan hak mereka (Young, 1993).
Kaum perempuan Asia selalu di harapkan untuk melakukan tugas-tugas domestik. Menikah, menjadi penolong yang patuh bagi ibu mertua mereka , dan mengurus anak-anak , khususny aanak laki-laki (Nishio & Bilmes,1993;Sue,1989). Di Cina, tanggung jawab ibu akan mebutuhan emosional dan kesejahteraan keluarga, dan atas pengasuhan anak-anak, berasal dari etika ajaran Confucius, yaitu ajaran yan menyebutkan bahwa kaum perempuan secara historis lebih rendah daripada status kaum laku-laki.(Huang & Ying, 1989). Akan tetapi, ketika Cina sudah semakin modern, peran-peran ini menjadi kurang ketat. Sama halnya, dalam keluarga-keluarga Cina yang telah diakulturasikan di Amerika Serikat, hanya beberapaperan yang dirumuskan secara kaku yang masih bertahan.
Secara tradisional, di keluarga-keluarga Hispanik, kaum perempuan mengemban peran ekspresif sebagai ibu rumah tangga dan pengasuh anak-anak. Ini terus menjadi norma, walaupun sudah tidak seketat di masa lalu. Secara historis, salah satu peran perempuan Hispanik adalah paham penyangkalan diri (self-denial), dan kebutuhan-kebutuhannya dianggap sebagai lebih rendah daripada kebutuhan-kebutuhan anggota-anggota keluarga lain. Pengambilan keputusan bersama dan kesetaraan yang lebih besar antara peran-peran kaum laki-laki dan kaum perempuan telah menjadi karakteristik keluarga Hispanik Amerika. Yang paling signifikan ialah meningkatnya frekuensi kaum perempuan Hispanik Amerika yang bekerja di luar rumah, yang dalam banyak hal telah meningkatkan status istri dalam keluarga dan dalam pengambilan keputusan.
Bagi penduduk asli Amerika, jumlah kontrol dan pengaruh sosial yang diperlihatkan oleh kaum perempuan atau kaum laki-laki bergantung pada suku. Pada suku-suku yang patriakal, kaum perempuan berfungsi sebagai "inti" sentral keluarga, yang mengemban tanggung jawab utama bagi kesejahteraan anak-anak. Seperti pada kaum minoritas etnis lain, kaum perempuan penduduk asli Amerika yang pindah ke daerah-daerah perkotaan mengalami konflik kebudayaan antara nilai-nilai etika tradisional dan nilai-nilai masyarakat Amerika.
2. Kaum Laki-laki Minoritas Etnis
Sama seperti kaum perempuan minoritas etnis mengalami diskriminasi yang sangat berat dan harus mengembangkan stretegi-strategi penanganan dalam menghadapi kesengsaraan, demikian juga kaum laki-laki minoritas etnis. Beberapa data statistik menggambarkan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh banyak kaum laki-laki kulit hitam, misalnya kaum laki-laki dari semua usia tiga kali lebih besar peluangnya utntuk hidup di bawah garis kemiskinan daripada kaum laki-laki kulit putih.
Dalam suatu studi baru-baru ini, masalah model-model peran kaum laki-laki yang memadai dalam perkemabngan anak laki-laki kulit hitam Amerika muncul ke permukaan. Para peneliti mulai memfokuskan di pada berbagai dimensi yang lebih positif pada kaum laki-laki kulit hitam, misalnya para peneliti menemukan bahwa kaum laki-laki kulit hitam sangat efisien pada penggunaan bahasa tubuh dalam komunikasi, pada pengkodean isyarat-isyarat nonverbal, pada ekspresi multilingual/multikultural, dan improvisasi pemecahan masalah.
Nilai-nilai kebudayaan Asia tercermin dalam keluarga Cina keluarga Jepang yang patriarkal tradisional. Perilaku ayah dalam hubungannya dengan para anggota lain umumnya dihormati, otoriatif, terpencil dan jauh serta kaum ayah masih sering menjadi figur kepala keluarga, khususnya ketika berurusan dengan publik, tetapi secara pribadi mereka melimpahkan sebagaian kekuasaan pengambilan keputusan kepadapara istri mereka.
Pada keluarga-keluarga Hispanik, kaum laki-laki secara tradisional mengemban peran instrumental pencari nafkah dan pelindung keluarga. Konsep kejantanan (machhismo) terus mempengaruhi peran kaum laki-laki dan orientasi patriakal keluarga Hispanik walaupun tidak lagi sekuat masa lalu. Secara tradisional, orientasi ini menuntut kaum laki-laki untuk berkuasa dan kuat, serta untuk menyembunyikan emosi-emosi mesra. Konsep machismo dan patriaki absolut akhir-akhir ini semakin kehilangan pengaruh , karena kaum laki-laki remaja masih di beri lebih banyak kebebasan daripada kaum perempuan remaja dalam keluarga-keluarga Meksiko Amerika.
Beberapa suku penduduk asli Ameriak juga patriarkal, di mana laki-laki menjadi kepala keluarga dan pengambil keputusan utama. Namun dalam beberapa suku, tanggung jawab pengasuhan anak dibagi juga kepada kaum laki-laki. Misalnya, kaum laki-laki Apache Mescalero memikul tanggung jawab atas anak-anak bila tidak bekerja jauh dari keluarga. Otonomi sangat dihargai di kalangan anak laki-laki pada banyak suku penduduk asli Amerika, dengan kaum laki-laki hidup semi mandiri pada usia dini. Peningkatan perpindahan ke daerah-daerah perkotaan menyebabkan perubahan-perubahan pada nilai-nilai dan tradisi-tradisi kaum laki-laki penduduka asli Amerika.
PERKEMBANGAN MORAL
ยต Teori Perkembangan Moral Kohlberg
Kohlberg mengemukakan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak, anak-anak tersebut di beri serangkaian cerita yang mana tokoh-tokohnya menghadapi dilema moral.
Berdasarkan penalaran-penalaran yang diberikan oleh responden dalam merespons dilema moral ini dan dilema moral lain, Kohlberg percaya terdapat tiga tingkat perkembangan moral yang masing-masingnya ditandai oleh dua tahap. Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg, ialah internalisasi, yaitu perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secar eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal. Teori perkembangan moral Kohlberg, yaitu:
¨ Tingkat Satu: Penalaran Prakonvensional
Adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal.
Tahap 1. Orientasi hukuman dan ketaatan (punishment and obedience orientation).
Pada tahap ini, penalaran moral didasarkan atas hukuman. Misalnya anak-anak taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat.
Tahap 2. Individualisme dan tujuan (individualism and purpose)
Pada tahap ini, penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah)dan kepentingan sendiri. Misalnya anak-anak taat bila merekaingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat.
¨ Tingkat Dua : Penalaran Konvensional
Ialah tingkat kedua atau tingkat menengah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, internalisasi individual adalah menengah. Seseorang menaati standar-standarorang lain (eksternal), seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat.
Tahap 3 : Norma-norma Interpersonal (interpersonal Norms)
Pada tahap ini, seseorang mengahrgai kebenaran, keperdulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral orang tuanya pada tahap ini sambil mengharapkan dihargai oleh orang tua sebagai seorang "perempuan yang baik" atau "laki-laki yang baik".
Tahap 4 : Moralitas sistem sosial (social system morality)
Pada tahap ini, pertimbangan-pertimbangan didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.
¨ Tingkat Tiga : Penalaran Pascakonvensional
Tingkat pemikiran Pascakonvensional adalah tingkat tertinggi dalam teori perkembangan moralKolhberg. Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain.
Tahap 5 : Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual
Pada tahap ini, seseorang memahami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain.
Tahap 6 : Prinsip-prinsip etis universal
Pada tahap ini, seseorang telah mengembang kan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia yang universal.
Kohlberg percaya bahwa ketiga tingkat dan keenam tahap tersebut terjadi dalam suatu urutan dan berkaitan dengan usia: Sebelum usia 9 tahun, kebanyakan anak-anak berpikir tentang dilema moral dengan cara yang prakonvensional; pada awal masa remaja, mereka berpikir tentang dilema moral dengan cara yang lebih konvensional; dan pada awalmasa dewasa, sejumlah kecil orang berpikir dengan cara-cara yang pascakonvensional.
Kritik Terhadap Kohlberg
Teori perkembangan moral Kolhberg yang provokatif tidak bertalu tanp atantangan. Teori ini mendapatkan kritikan yang mencakup hubungan antara penalaran moral dan perilaku moral, kualitas penelitian, pertimbangan yang memadai tentang peran kebudayaan dalam perkembangan moral, dan pengabaian perspektif pengasuhan.
a. Pemikiran Moral dan Perilaku Moral
Teori Kohlberg dikritik karean terlalu banyak penekanan pada penalaran moral dan kurang memberi penekanan pada perilaku moral. Penalaran moral kadang-kadang dapat menjadi tempat perlindungan bagi perilaku immoral.
b. Kebudayaan dan Perkembangan Moral
Kritik lain terhadap pandangan Kohlberg ialah bahwa pandangan ini secara kebudayaan bias. Suatu tinjauan penelitian terhadap perkembangan moral di 27 negara menyimpulkan bahwa penalaran moral lebih bersifat spesifikkebudayaan daripada yang dibayangkan oleh Kohlberg dan bahwa sistem skor Kohlberg tidak mempertimbangkan penalaran moral tingkat tinggi pada kleompok-kelompok kebudayaan tertentu.
Contoh penalaran moral tingkat tinggi tidak akan memperoleh skor tertinggi dalam sistem Kohlberg ialah nilai-nilai yang berkaitan dengan keadilan komunal dan kebahagiaan kolektif di Israel, persatuan dan kesucian segala bentuk kehidupan di India, dan hubungna individu dengan masyarakat di New Guinea. Ringkasnya penalaran moral lebih di bentuk oleh nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan suatu kebudayaan dari pada yang dinyatakan oleh Kohlberg.
c. Gender dan Perspektif Kepedulian
Carol Gilligan percaya bahwa teori perkembangan moral Kohlberg tidak mencerminkan secara memadai relasi dan keperdulian terhadap manusia lain. Teori Kohlberg adalah suatu perspektif keadilan, di mana perspektif keadilan ialah suatu perspektif moral yang berfokus pada hak-hak individu; individu berdiri sendiri dan bebas mengambil keputusan moral. Sedangkan teori Gilligan adalah suatu perspektif kepedulian, perspektip kepedulian ialah suatu perspektif moral yang memandang manusia dari sudut keterkaitannya dengan manusia lain dan menekankan komunikasi interpersonal, relasi dengan manusia lain, kepedulian terhadapa orang lain.
Manurut Gilligan, Kohlberg kurang memperhatikan perspektif kepedulian dalam perkembangan moral, mungkin ini terjadi karena Kohlberg seorang laki-laki dan kebanyakan penelitiannya dilakukan pada laki-laki daripada perempuan serta ia menggunakan respons laki-laki sebagai suatu model bagi teorinya.
Dalam beberapa wawancara yang eksentif dengan anak perempuan usia 6 hingga 18 tahun, Gilligan dan rekan-rekannya menemukan bahwa anak perempuan menginterpretasikan secara konsisten dilema-dilema moral dari sudut relasi manusia dan mendasarkan interpretasi tersebut pada mendengar dan memperhatikan orang lain. Menurut Gilligan, anak perempuan memilki kemampuan untuk memilih secara sensitif irama-irama yang berbeda dalam berelasi dan selalu dapat mengikuti lorong-lorong perasaan. Gilligan percaya bahwa anak perempuan mencapai suatu tahap yang sangat penting dalam perkembangannyaketika mereka mencapai masa remaja.
d. Altruisme
Altruisme aialah suatu minat yang tidak mementingkan diri sendiri dalam menolong seseorang. Timbal balik dan pertukaran terlibat dalam altruisme, tetapi tidak semua altruisme dimotivasi oleh timbal balik dan pertukaran melainkan interaksi dan relasi dengan orang lain dapat menolong kita dalam memahami hakekat altruisme. Keadaan-keadaan yang paling mungkin melibatkan altruisme ialah emosi yang empatis terhadap seseorang yang mengalami kebutuhan atau suatu relasi yang erat antara dermawan dengan penerima derma.
William Damon (1988) menggambarkan suatu urutan perkembangan altruisme anak-anak, khususnya dalam berbagai. Pada usia tiga tahun pertama kehidupan dilakukan atas pertimbangan-pertimbangan yang bersifat nonempstis, seperti mendapatkan kesenangan dari ritual permainan sosial.Disekitar usia 4 tahun, suatu kombinasi kesaadran empatis dan dorongan orang dewasa menghasilkan suatu rasa kewajiban dalam diri anak untuk berbagi, walaupun anak mungkin tidak melihat ini sebagai cara terbaik untuk memperoleh kesenangan.
Pada awal tahun-tahun sekolah dasar, anak secara sungguh-sungguh mulai mengekspresikan gagasan yang lebih obyektif tentang keadilan. Paham tentang keadilan ini telah digunakan sepanjang sejarah untuk mendistribusikan barang-barang dan memecahkan konflik. Paham ini melibatkan prinsip-prinsip, yaitu:
1. keadialan, berarti bahwa setiap orang diperlakukan sama;
2. prestasi, berarti memberi hadiah ekstra atas kerja keras, suatu unjuk kerja berbakat, atau perilaku terpuji lainnya;
3. kebajikan, berarti memberi pertimbangan khusus kepada orang-orang yang berada dalam suatu kondisi yang tidak menguntungkan.
Adanya satu hal yang terlepas dari factor-faktor yang membimbing altruisme anak-anak, yang oleh banyak orang dewasa mungkin diharapkan menjadi yang paling berpengaruh dari semuanya; motivasi untuk menaati tokoh-tokoh otoritas orang dewasa. Yang mengherankan, sejumlah studi memperhatikan bahwa otoritas orang dewasa memiliki pengaruh yang kecil saja terhadap tiondakan-tindakan anak untuk berbagi.
2 komentar:
Ada referensinya? Makasih:)
Ada referensinya? Makasih:)
Posting Komentar